Jika Tuak Dilarang, Diminta Miras Lainnya Juga Dilarang
GUNUNGSITOLI – BALUSENIAS.Com
Fakta menunjukkan banyak kasus kriminal maupun kecelakaan lalu lintas diawali karena pelaku atau korban meminum beragam jenis minuman keras, termasuk Tuo Nifaro (TN). Menyikapinya, Kepala Kepolisian Resor Nias memunculkan gagasan untuk menertibkan dan mengatur peredaran TN di Kepulauan Nias. Ide bertujuan positif tersebut akhir-akhir ini menjadi bahasan umum di tengah masyarakat, atau viral di media sosial.
Beragam tanggapan muncul. Ada yang setuju demi terciptanya kehidupan yang harmoni dan keselamatan di tengah keluarga atau masyarakat. Ada juga menyamakan larangan meminum Tuo Nifaro dengan melarang adat-istiadat Nias. Sebab katanya, TN merupakan bagian dari adat Nias.
Pada Forum Discussion Grup yang digelar Polres Nias, baru-baru ini, salah satu tokoh di Kepulauan Nias, Pendeta Tuhoni Telaumbanua, memberikan pemaparan. Pria yang pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nias ini memandang pembahasan TN sangat penting atau mendesak. Sebab TN juga menjadi perdebatan di kalangan pelayan gereja.
Persoalan yang mencuat adalah, mengapa di dalam kegiatan adat-istiadat Nias saat ini selalu ada TN. Benarkah TN merupakan bagian dari adat istiadat? Apa arti dan maknanya? “Bahwa kenyataan hidup masyarakat kita, ada banyak yang hobi meminum TN. Bahkan tidak sedikit yang minum hingga mabuk, dan menimbulkan kerusuhan,” jelas Tuhoni Telaumbanua.
Tuhoni Telaumbanua yang telah menyandang gelar akademik Strata 3 atau Doktor, mengakui TN juga merasuki jemaat gereja. Terutama kaum bapak dan pemuda, banyak yang lebih memilih duduk di kedai sambil minum TN dari pada pergi ke gereja. Bahkan, terkadang para pelayan gereja lebih dahulu ‘memanaskan diri’ dengan meminum tuak sebelum melaksanakan pelayanan (Liturgos atau khotbah). “Akibat dari minum TN juga membuat masyarakat malas bekerja. Yang akhirnya membawa kemiskinan,” jelas pria yang selama lima tahun menimba ilmu di Universiteit Utrecht, The Netherlands ini.
Ketua PGI Jakarta periode 2014-2019 ini menyambung, jika TN bukan bagian dari adat, lalu mengapa pada upacara-upacara adat perkawinan kita kenal istilah “Suru Duo”. Mengapa “Tuo” (Mbanua) berubah menjadi Bir atau Brandi? Dan TN sebagai pendamping bungkusan makanan (Föfö Wangandrö), untuk Fanika Era’era mböwö, dan sebagainya? “Bukankah juga dalam konteks pertemuan dan musyawarah adat di desa, untuk mengokohkan kesepakatan, maka muncul ungkapan: “Mate Mbawi, Mae Duo”? Bukankah dalam kegiatan “Fogau” selalu disertai dengan Tuo,”? papar Tuhoni Telaumbanua.
Pendeta yang pernah menjabat Ephorus Gereja Banua Niha Keriso Protestan ini mengungkapkan, perlu kembali dibaca dokumen tua tentang Nias. Misalnya pada catatan Sulayman, pedagang asal Persia yang datang ke Nias tahun 851. Dikatakannya, pulau-pulau (Pulau Nias) itu memiliki emas berlimpah. Makanan para penduduk adalah buah pohon kelapa dan sekaligus menghasilkan ‘tuak’ dan mengurapi tubuh mereka dengan minyak kepala itu. Kalau seorang pemuda kawin, dia baru mendapat istri bila berhasil membawa sebuah tengkorak kepala manusia dari seorang musuh mereka.
Seandainya laki-laki itu berhasil membunuh dua orang musuh, maka bisa memperoleh dua istri. Seandainya orang itu berhasil memenggal kepala musuhnya sebanyak 50 orang, maka dia bisa mengawini 50 orang istri.
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa syarat atau Böwö Wangowalu ribuan tahun yang lalu justru prestasi mengalahkan musuh. Pada perkembangan kemudian, unsur-unsur Böwö dalam arti “jujuran” ataupun dalam arti tradisi serta kebiasaan (Folkways), maka hampir tidak ditemukan unsur tuo di dalamnya. Dari catatan misionaris RGM 1912, unsur dan wujud Böwö dalam masyarakat Nias adalah Afo (sia’a mböwö), Bawi, Fakhe, Köla/firö/ana’a (pada perkembangan kemudian “uang kertas”) Nukha (baru luo) dan berbagai unsur seni (Maena, Manari, Huhuo/Hoho/Hendri-Hendri, Fahumba).
Perihal tidak adanya TN dalam unsur Böwö di Nias, dapat juga dibandingkan dengan alat ukur atau timbangan maupun takaran. Yang sekaligus simbol dari böwö dalam pengertian keadilan, etika dan hukum, yakni Afore, Fali’era & Lauru. “Konteks peralatan tersebut adalah peternakan, pertanian dan perdagangan,” papar Ketua FKUB Kota Gunungsitoli tahun 2018 ini.
Mengapa dalam kegiatan adat-istiadat sekarang justru harus selalu ada TN, Tuhoni Telaumbanua kembali bertanya budaya dari mana itu. Untuk memahami hal ini, masyarakat diajak melakukan pengkajian dari sudut sosiologi. Sebab bila dikaji dari dimensi sosiologi, TN sudah lama dikenal oleh masyarakat Nias. Jauh sebelum kedatangan para misionaris dan Kolonial Belanda. Hal tersebut terlihat dari: Jenis tanaman yang ada di Nias, yang di antaranya Aren (Akhe) dan Kelapa (Banio, Sikhula).
Dari sistem pembagian dan penamaan waktu tersebut di atas, terlihat bahwa pukul 07.00 pagi dan pukul 15.00-16.00 sore adalah waktu untuk penyadapan dan pengambilan tuak. Atau yang sering disebut dengan tuo mbanua setelah muncul berbagai jenis tuak. Juga adanya peribahasa-peribahasa yang mengkaitkan aren, kelapa dan tuak.
Yang konteksnya diambil dalam kaitan dengan tuo, antara lain Alaŵa luo – Afeto duo – aisö nidanö mbanio, Sanondrö Akhe, i’osa’osa’ö ndondrönia, Omböila dotoa, omböila nakhe, Labe’e ba danga zonekhe, tobali wohawoha gafore (rangka batang tombak, rangka batang aren diserahkan kepada cendekiawan, menjadi alat pengukur Afore). Fa’aekhu ba nohi, fa aekhu ba nakhe faigi gotalua duhe, ba gotalua zi lö mate.
Menurut Tuhoni Telaumbanua, memang pada kebanyakan masyarakat, tuak merupakan salah satu minuman yang tidak hanya sebatas penyejuk kehausan. Melainkan juga sebagai suatu stimulan, sarana pergaulan, alat penghormatan, bahkan memiliki arti prestis. “Para penulis Sejarah Budaya Nias menyatakan bahwa masyarakat Nias memiliki kegemaran minum tuak dan daging babi,” sebut suami dari Pdt Nurcahaya Gea ini.
Tuhoni Telaumbanua menyatakan, seiring perkembangan jaman dan perubahan sosial, maka Tuo menjadi bagian pendukung dari unsur adat-istiadat. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi Tuo menjadi pendukung unsur adat-istiadat dalam implementasi kebudayaan Nias. Tuo mbanua yang kadar alkoholnya tidak begitu tinggi, adalah salah satu minuman rakyat yang tidak hanya murah, meriah dan cepat. Artinya tidak perlu dimasak lebih dahulu, sebab bisa langsung diminum.
Tetapi Tuo menjadi salah satu minuman penghargaan yang mungkin sekarang dapat disejajarkan dengan minuman kopi atau teh. Setelah jadi tradisi sebagai salah satu unsur minuman penghargaan, maka pada proses perkembangannya, akhirnya dimasukkan sebagai salah satu bagian dari kegiatan adat-istiadat. Baik dalam konteks perkawinan (Suru Duo, Föfö Wangandrö, Fanika Era’era Mböwö) maupun dalam konteks musyawarah desa. Juga konteks penegakan hukum adat (fogau) dan konteks pergaulan.
Secara evolusi dan bertahap, setelah minuman beralkohol hasil pabrik dikenal di Nias, maka tuo mbanua sudah disejajarkan dengan Tuo Nifaro, Bir, Brandi, Kamput dan sebagainya. Perubahan terjadi sangat cepat, dan masyarakat Nias tidak lagi mempertanyakan apakah Bir, Brandi atau Kamput yang adalah hasil karya (budaya) dari luar. Yang penting Tuo, dan dianggap memiliki makna penghormatan, persaudaraan atau persahabatan.
Itulah sebabnya di beberapa tempat, terkesan ada pemaksaan agar ada Bir, Brandi, Kamput atau TN sebagai teman dari Löwölöwö. Bila tidak, maka pihak Tome bisa saja didenda. Padahal sejak dahulu ketika Tuo Mbanua menjadi bagian dari adat, memiliki makna penghormatan, dan mempererat persaudaraan. Hal tersebut sesuai dengan makna dari Bawi, Fakhe, Tuo dan Afo yang dituangkan dalam pepatah. Yang maknanya adalah penghargaan, penghormatan, persaudaraan atau persahabatan atau kekerabatan. Taröi Göda Fakhe, Öda Bawi, Öda Na Tafaoma Ma’iki, Taröi Göda Afo, Öda Tuo, Öda Na Faoma Taboho. “Makna dari Ma’iki dan Muboho adalah penyimbolan keharmonisan, persaudaraan atau persahabatan serta penghormatan,” ujar Alumni STT HKBP Pematang Siantar tahun 1988 ini.
Tuhoni Telaumbanua yang merupakan Assesort BAN PT tahun 2015 hingga sekarang ini menyampaikan kesimpulan. Jika dari pendekatan Tuo tersebut, maka warga Nias di zaman kini diminta perlu belajar. Yakni bila melakukan pelarangan TN, harus adil. Semua jenis minuman keras yang didatangkan dari luar, juga harus dilarang. Tujuannya, tidak terjadi mabuk-mabukan yang berakibat pada tindakan kriminal atau laka lantas.
Kepada para pemuka agama, diharap bekerja keras untuk membina iman jemaatnya masing-masing. Agar tidak terjerumus dalam tindakan moral tercela dengan mabuk-mabukan. Sebab mabuk adalah musuh iman. Dan kepada semua pihak, terutama pemerintah, agar mencari jalan keluar dengan mendampingi warga Nias. Khususnya yang memproduksi tuak sebagai salah satu cara meningkatkan pendapatannya.
Dalam hal ini dipandang perlu pendampingan keterampilan pembuatan gula merah. Selain itu, bila tuak suling terus dilanjutkan sebagai salah satu usaha, maka perlu ada penataan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. “Dan terakhir, pentingnya para penatua adat melakukan reformulasi unsur-unsur adat. Agar perubahan yang terjadi tidak menghilangkan jiwa dan makna dari ritual atau adat-istiadat tersebut,” tegas Tuhoni Telaumbanua. (Efarius Zebua)