GUNUNGSITOLI – BALUSENIAS.COM
Sejumlah aktivis menemui Kepala Kepolisian Resor Nias, AKBP Revi Nurvelani di Mako Polres Nias. Mereka menanyakan penanganan tujuh kasus tindak pidana yang dinilai mandek atau macet di meja penyidik. Bahkan ada yang hampir sembilan tahun berkas perkaranya di tangani.
“Ada beberapa hal, terkait penegakan hukum di Polres Nias yang mau kami tanyakan sampai di mana penanganannya. Agar kami tahu jelas,” ungkap Siswanto Laoli, sebagai pemimpin Aliansi Masyarakat Peduli Hukum dalam audiesi di Mako Polres Nias pada Kamis, 6 Maret 2025.
Siswanto mengatakan, setidaknya ada enam kasus yang menonjol dan jadi bahan perbincangan di tengah masyarakat. Pertama, aksi demo di Kantor PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan atau UP3 Area Nias pada 3 April 2016.
“Kasus demo PLN di tahun 2016 mengendap. Padahal delapan tersangka sudah ditahan waktu itu,” kata Siswanto.
Kedua, penemuan mayat bayi diduga hasil aborsi di sebuah sekolah tinggi di Kepulauan Nias.
Ketiga, kasus dugaan pembunuhan terhadap Rinto Damai Zega. Seorang mahasiswa berusia 24 tahun, tercatat sebagai warga Desa Umbubalodano, Kecamatan Sitolu’ori, Kabupaten Nias Utara. Rinto ditemukan meninggal di Pantai Hoya, Desa Teluk Belukar, Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kota Gunungsitoli pada Senin, 26 Juli 2021 lalu.

Kasus keempat adalah penganiayaan terhadap anak di Kecamatan Mandrehe Utara. Laporan Lisani Lase terhadap pasangan suami istri ke Polres Nias pada 5 Maret 2024. Ia menuduh mereka, bersama seorang lainnya, melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya, AAL, yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kasus kelima dijelaskan Adi Laoli, adalah penganiayaan berat yang terjadi di Desa Lolomboli, Kecamatan Mandrehe Utara, Kabupaten Nias Barat, pada 29 November 2023 malam. Sejak dilaporkan pada 8 Desember 2023 belum menemui titik terang.
Terduga pelaku diperkirakan lebih dari 20 orang, menganiaya Atulo’o Gulo (52) alias Ama Yanu di teras rumah Fatou’osa Lahagu alias Ama Do’o. Korban secara brutal dianiaya diduga menggunakan parang, kayu dan benda tajam lainnya. Akibatnya, korban berdarah-darah karena luka-luka di kepala, wajah dan lebam di sekujur tubuhnya.
“Kejadiannya sudah 15 bulan. Korban dan saksi tujuh orang, tapi pelaku belum ditangkap, bahkan belum ada tersangkanya. Jelas pelaku ada 20 orang sesuai keterangan anak korban sebagai saksi,” ungkap Adi yang pernah berkarya jurnalistik di SumutPos.
Kasus keenam disampaikan Chandra Bugis, aktivis asal Pulau Hinako Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias Barat. Yang dimaksud adalah kasus dugaan pencabulan anak di Sirombu pada tahun 2020. Orang tua korban tidak pernah tahu perkembangan kasus yang dilaporkan.
“Kasus ini terkesan hilang, tak ada lagi. Sudah browsing (menelusuri lewat internet), tak ada info sampai saat ini. Orang tua korban pasrah, karena salah memahami. Dipikirnya kalau laporan harus bayar agar ditindaklanjut. Kami pahamkan, semua ada proses dan prosedur,” katanya.
“Audiensi ini untuk eratkan hubungan kerja sama. Mungkin kinerja penyidik sudah profesional, tapi persepsi masyarakat beda. Karena ada isu, lapor harus ada uang,” imbuhnya.
Terakhir, disampaikan Ahmad Sabran Jamil Mendrofa, jurnalis di BaluseNias. “Ada kasus perusakan tanaman bernilai ratusan juta rupiah di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Terkesan merusak tanaman di lahan ada surat bukan tindak pidana,” ujarnya.
Kasus tersebut dilaporkan oleh Setiaman Zebua ke Polres Nias pada 5 Juli 2024. Di atas lahan yang terletak di Jalan Mistar Dusun II Desa Lasara Bahili, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, ada beragam tanaman buah-buahan. Seorang pria bersama lima rekannya menebang pohon di atas lahan tersebut, termasuk pilar beton sebagai pembatas antar lahan.
“Kasus penganiayaan di Kecamatan Gido, tahun 2018 juga belum jelas penanganannya, padahal sudah terbit SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan). Kawan-kawan butuh kepastian hukum. Agar tak bias di masyarakat. Kami bukan mau menekan polres, tapi mitra,” imbuh Markus Hulu.
Menanggapinya, AKBP Revi Nurvelani menegaskan setiap penanganan perkara, haruslah penyidik yang berwenang menjawab. Penyidiklah yang bisa menyelesaikan perkara dan bersifat independen.
“Kapolres tak bisa beri jawaban sendiri. Yang jawab di sini penyidik semua,” jelas perwira menengah lulusan Akademi Kepolisian Tahun 2005 ini.
Kapolres yang didampingi Kaur Bin Ops Satreskrim, Ipda Jasmar Eli Zebua, menyatakan setiap laporan polisi pasti ditindaklanjuti. Kasus lama diakui ada surat laporan dan juga Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau SP2HP.
Diakuinya, perkara yang dilaporkan dan ditangani Polres Nias selalu bertambah. Ia berharap para aktivis dapat memberikan informasi yang benar terkait pelayanan polisi kepada masyarakat.
Menurut kapolres, ada kasus yang mudah ditangani, ada yang sulit dan belum terungkap. Pihaknya menginginkan setiap berkas dimajukan. “Harus beri kepastian hukum pada masyarakat, lanjut atau SP3,” ujarnya.
Ia memersilahkan masyarakat menanyakan perkembangan kasus dilaporkan kepada Kepala Satreskrim, Kaur Bin Ops, Kepala Unit atau langsung ke penyidik. “Ada istilah no viral no justice. Ya kami dahulukan mana yang viral. Artinya, dari sekian banyak (perkara) kami lihat mana yang harus didahulukan,” kata AKBP Revi Nurvelani yang pernah menjabat Kasat Reskrim Polres Binjai dan Kasat Reskrim Polres Tanjungbalai.
“Dengan audiensi ini, bisa dipercepat penanganan perkara. Jika biasa 20, bisa jadi 40 kecepatannya,” ujar AKBP Revi Nurvelani di acara yang dihadiri juga Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Aiptu Jones A Zai dan Kepala Unit Tindak Pidana Umum, Ipda Mustika P Sembiring. (Jojor Masihol Marito)